Senin, 09 April 2012

jiwa berduka

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lahir, kehilangan, dan  kematian adalah kejadian yang unuiversal dan kejadian yang sifatnya unik bagi setiap individual dalam pengalaman hidup seseorang. Kehilangan dan berduka merupakan istilah yang dalam pandangan umum berarti sesuatu yang kurang enak atau nyaman untuk dibicarakan. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi ini lebih banyak melibatkan emosi/ego dari diri yang bersangkutan atau disekitarnya.
Dalam perkembangan masyarakat dewasa ini, proses kehilangan dan berduka sedikit demi sedikit mulai maju. Dimana individu yang mengalami proses ini ada keinginan untuk mencari bantuan kepada orang lain.
Pandangan-pandangan tersebut dapat menjadi dasar bagi seorang perawat apabila menghadapi kondisi yang demikian.  Pemahaman dan persepsi diri tentang pandangan yang diperlukan dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif. Kurang memperhatikan perbedaan persepsi menjurus pada informasi yang salah, sehingga intervensi perawatan yang tidak tetap (Suseno, 2004).
Perawat berkerja sama dengan klien yang mengalami berbagai tipe kehilangan. Mekanisme koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menghadapi dan menerima kehilangan. Perawat membantu klien untuk memahami dan menerima kehilangan dalam konteks kultur mereka sehingga kehidupan mereka dapat berlanjut. Dalam kultur Barat, ketika klien tidak berupaya melewati duka cita setelah mengalami kehilangan yang sangat besar artinya, maka akan terjadi masalah emosi, mental dan sosial yang serius.
Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam lingkungan asuhan keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan keluarga yang mengalami kehilangan dan dukacita. Penting bagi perawat memahami kehilangan dan dukacita. Ketika merawat klien dan keluarga, parawat juga mengalami kehilangan pribadi ketika hubungan klien-kelurga-perawat berakhir karena perpindahan, pemulangan, penyembuhan atau kematian. Perasaan pribadi, nilai, dan pengalaman pribadi mempengaruhi seberapa jauh perawat dapat mendukung klien dan keluarganya selama kehilangan dan kematian (Potter & Perry, 2005).

1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah kami antara lain:
1.      Apakah arti dari berduka?
2.      Apa saja jenis-jenis berduka?
3.      Apa saja dampak dan respon dari berduka?

1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, adalah:
1.3.1 Tujuan umum
Tujuan umum dari makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana berduka dan kehilangan itu
      1.3.2 Tujuan Khusus
1.     Untuk mengetahui arti dari berduka.
2.     Untuk mengetahui jenis-jenis kehilangan .
3.     Untuk mengetahui dampak dan respon berduka.











BAB II
LANDASAN TEORI
BERDUKA
2.1  Definisi berduka
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain-lain.
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka disfungsional.
Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal.
Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual maupun potensial, hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau kesalahan/kekacauan.

2.2 Jenis Berduka
1.         Berduka normal, terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal terhadap kehilangan.Misalnya, kesedihan, kemarahan, menangis, kesepian, dan menari diri dari aktivitas untuk sementara.
2.         Berduka antisipatif, yaitu proses’melepaskan diri’ yng muncul sebelum kehilangan atau kematian yang sesungguhnya terjadi.Misalnya, ketika menerima diagnosis terminal, seseorang akan memulai proses perpisahan dan menyesuaikan beragai urusan didunia sebelum ajalnya tiba
3.         Berduka yang rumit, dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ke tahap berikutnya,yaitu tahap kedukaan normal.Masa berkabung seolah-olah tidak kunjung berakhir dan dapat mengancam hubungan orang yang bersangkutan dengan orang lain.
4.         Berduka tertutup, yaitu kedudukan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui secara terbuka.Contohnya:Kehilangan pasangan karena AIDS, anak mengalami kematian orang tua tiri, atau ibu yang kehilangan anaknya di kandungan atau ketika bersalin.
2.3 Teori dari Proses Berduka
Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses berduka. Konsep dan teori berduka hanyalah alat yang hanya dapat digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan emosional klien dan keluarganya dan juga rencana intervensi untuk membantu mereka memahami kesedihan mereka dan mengatasinya. Peran perawat adalah untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan dukungan dalam bentuk empati.
1. Teori Engels
Menurut Engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat diaplokasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun menjelang ajal.
1.      Fase I (shock dan tidak percaya)
Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaporesis, mual, diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan.
2.      Fase II (berkembangnya kesadaran)
Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/akut dan mungkin mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.
3.      Fase III (restitusi)
Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan yang hampa/kosong, karena kehilangan masih tetap tidak dapat menerima perhatian yang baru dari seseorang yang bertujuan untuk mengalihkan kehilangan seseorang.



4.      Fase IV
Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurang perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum.
5.      Fase V
Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/disadari. Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang sudah dapat menerima kondisinya. Kesadaran baru telah berkembang.
2. Teori Kubler-Ross
Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah berorientasi pada perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut:
a)  Penyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti “Tidak, tidak mungkin seperti itu,” atau “Tidak akan terjadi pada saya!” umum dilontarkan klien.
b)  Kemarahan (Anger)
Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak lebih” pada setiap orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini merupakan koping individu untuk menutupi rasa kecewa dan merupakan menifestasi dari kecemasannya menghadapi kehilangan.
c)  Penawaran (Bargaining)
Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali mencari pendapat orang lain.


d) Depresi (Depression)
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk berupaya melewati kehilangan dan mulai memecahkan masalah.
e)  Penerimaan (Acceptance)
Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-Ross mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah pada pengunduran diri atau berputus asa.
8. Teori Martocchio
Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang mempunyai lingkup yang tumpang tindih dan tidak dapat diharapkan. Durasi kesedihan bervariasi dan bergantung pada faktor yang mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri. Reaksi yang terus menerus dari kesedihan biasanya reda dalam 6-12 bulan dan berduka yang mendalam mungkin berlanjut sampai 3-5 tahun.
9. Teori Rando
Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 katagori:
a. Penghindaran
Pada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak percaya.
b. Konfrontasi
Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara berulang-ulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan mereka paling dalam dan dirasakan paling akut.
c. Akomodasi
Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan mulai memasuki kembali secara emosional dan sosial dunia sehari-hari dimana klien belajar untuk menjalani hidup dengan kehidupan mereka.



2.4  Respons Berduka
Respons berduka seseorang terhadap kehilangan dapat melalui tahap-tahap berikut(Kubler-Ross, dalam Potter dan Perry,1997)
PengingkaranàMarahàTawar-MenawaràDepresiàPenerimaan

1.      Tahap Pengingkaran.
 Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya, atau mengingkarikenyataan bahwa kehilangan benar-benar terjadi.Reaksi fisik yang terjadi pada tahap ini adalah letih,lemah,pucat,mual,diare,gangguan pernafasan,detak jantung cepat,menangis,gelisah,dan sering kali individu tidak tahu harus berbuat apa.Reaksi ini dapat berlangsung selama beberapa menit hingga beberapa tahun.
2.      Tahap Marah.
Pada tahap ini individu menolak kehilangan. Kemarahan yang timbul sering diproyeksikan kepada orang lain atau dirinya sendiri.Orang yang mengalami kehilangan juga tidak jarang menunjukkan perilaku agresif, berbicara kasar, menyerang orang lain, menolak pengobatan, bahkan menuduh dokter atau perawat tidak berkompeten. Respon fisik yang sering terjadi antara lain muka merah, denyut nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal, dan seterusnya.
3.     Tahap Tawar-menawar.
 Pada tahap ini terjadi penundaan kesadaran atas kenyataan terjadinya kehilangan dan dapat mencoba untuk membuat kesepakatan secara halus atau terang-terangan seolah kehilangan tersebut dapat dicegah.Individu mungkin berupaya untuk melakukan tawar-menawar dengan memohon kemurahan Tuhan.
4.     Tahap depresi.
 Pada tahap ini pasien sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang-kadang bersikap sangat menurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusan, rasa tidak berharga, bahkan bisa muncul keinginan bunuh diri. Gejala fisik ditunjukkan antara lain menolak makan, susah tidur, letih, dan lain-lain.
5.      Tahap Penerimaan.
 Tahap ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang selalu berpusat pada objek yg hilang akan mulai berkurang atau bahkan hilang. Perhatiannya akan beralih pada objek yg baru.Apabila individu dapat memulai tahap tersebut dan menerima dengan perasaan damai, maka dia dapat mengakhiri proses kehilangan secara tuntas.Kegagalan untuk masuk ke proses ini akan mempengaruhi kemampuannya dalam mengatasi perasaan kehilangan selanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar